Jurnalis Publik Dan Pojok Desa.

Mas Odon

Kamis, 24 Juli 2025 10:16 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pementasan Mastodon dan Burung Kondor
Iklan

Kita bagai lembu yang memang tidak pernah memiliki taring, tapi itu lebih baik daripada seekor singa atau harimau yang berada di dalam sirkus.

Pementasan Mastodon dan Burung Kondor

 geotimes Ahmad Wansa Al-faiz, Pengarang GEOTIMES

Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz.

Kau akan mengenalnya, atau seperti yang dikatakannya kepadaku.

"Lihatlah bagaiamana aku dimaknai, dan ada pada benak mereka yang mengenalku?" Mereka adalah orang-orang yang berbeda penilain akan benar dan salah" katanya.

 

Jika suatu keterangan dari struktur logis, yang mungkin kau dapat dari seseorang dan orang yang lainnya berbeda pada satu objek karakter, dan aku kerap bertanya mengenai kenapa? melainkan, oleh suatu sikap eksitensi dari keberadaan yang mungkin aku dapat sebagai kesan. 

 

Meski, tidak Bhudis, namun jika di rumah tidak menyediakan protein hewani, dan lebih kepada protein nabati yang lebih aku suka secara vegetatif, dan menu kacang merah adalah sesuau yang mewah yang membawa seseorang masuk ke dalam ungkapan betapa mulia tuhan menciptakan semua ini. Dari suatu sudut aku menyoroti bukan perkara keagamaan, tapi gaya hidup seperti makan, dalam komunal vegetarian. "Itulah, aku bukan seorang Bhudis". Integrasi konheren tetap pada gaya hidup yang vegetatif, dimana dalam asumsi teoritik aku melihat bahwa bias protein hewani menciptakan energi emosional yang cukup membuat kewalahan dalam kohesi dari akal pikiran yang lembut. 

 

"Sudah aku bilang engkau mengenalnya" bahkan, mungkin lebih dari dirimu sendiri iya toh?!

Di suatu ruangan dibalik panggung pementasan puisi, suatu peristiwa pernah terjadi. Saat, aku bertemu, dengannya dalam popularitas dari karya dari kwatrin yang kau asumsikan kepada bentuk puisi-puisinya yang lebih condong kepada mekanisme 4 baris-4 baris, dalam sajak-sajaknya. Dan kerap membuatku berpikir mungkin kata sajak sendiri berasal dari kata "sejak" ya suatu yang mengiangkan pertanyaan "sejak kapan?" - 

Bagi seseorang yang mengenal kodifikasi dari sajak dirinya yang juga sangat populis di mataku, "Mastodon" seolah, mengisyaratkan suatu bentuk yang tidak berasal dari fakta tapi, fiksi, "sebab siapa yang akan memakai nama sedemikian itu ?'" dimana daya jangkau inferentif kerja pikiran seseorang mengambil kesimpulan terhadap suatu asas yang menyoal kosntelasi dan kondisi atau keadaan dalam interprestasinya yang juga sebagaian adalah wilayah sosiologis. Mengkosntruksi pranata pernyataan realitas menjadi akumulasi dan akomodasi dari bentuk aestetic, atau estetika sajak -puisi. Semacam sesuatu yang ada yang ditafsirkan untuk menjadi ada sebagai bagian yang terbaca dari partikular indikasi -indikasi yang teridentifikasi sebagai kejelasan alasan dari makna keindahan yang ontologis. 

Dan, "Sekarang, dia telah bersayap menjadi burung merak di alam ruh ?", yang menerbangkan imajinasiku" Lebih, kepada sistematika dan mekanisme dari kwatrin atau kwarted - dalam empat komposisi mengenai estetika. Di sana aku mulai mengenal suatu definisi seni, atau sastra yang tidak berasal dari pengertian sastra tapi justru tercipta dari karya sastra seperti "Mastodon". Menjamah makna, singularitas dalam proporsi kesendirianku yang subjektif dan menyukai kesepian sebagai seorang kawan seperjalanan yang niscaya. Dan selalu bermasalah dengan dualisme -dualisme sistem dari lingkungan ekologis dan sistem sosial dari nomos-nomos yang mebuatku semakin tabu.  Suatu sikap dalam penulisan namanya yang aslinya dengan huruf "a" yang berkarakter seperti "r" tapi tetap saja, orang-orang mengenalnya sebagai yang lain. 

Saat suatu waktu, tak seperti susunan penilainku, ketika seorang bertutur dan menarasikan dirinya, "Lho!" apakah dia ada di benak sang penutur, atau ada sebagai yang ditafsirkan dengan ketiadaan. Sejenak aku berpikir, "apakah, artinya ketiadaan?" yang dmaksud sebagai kontradiski dari "ada" (odon) ?

Dalam sejarah kaum reformis yang menolak ordho dari otoritarianisme dari seorang datuk, di selat Maringgai. Dan ini adalah kisah yang selalu menjadi batas fiksi dari iklim kerja sastra dari pikiranku terhadap realitas. Memecah asumsi dikotomis dan menyela ke dalam figurasi karakter yang tampak sebagai citra khayaliku sebagai imajisme imajinasi si kancil. Dia selalu membayangi dari karyanya yang fundamental itu dengan burung, dan atheisme dari monologi.

 

Bahwa, penolakan terhadap tuhan artinya juga tidak mengafirmasi dekosntruksi -ruang subjektif dan privasi individu di ruang publik. Dan mungkin seseorang akan menjadi merasa direndahkan atas prilaku ruang komunal jika pilihanmu menjadi tidak terang-benerang sebagai subjek.

Dan engkau berakhir kepada raga yang tidak memiliki ruh dan teromabng ambing dari zaman yang meliuk-liuk sebagai refrein pengulangan-pengulangan yang tiada akhir dalam bentuk kesadaran labirin " dan mungkin dirimu sulit melepaskannya" seketika ilusi itu seperti kenyataan yang eternal dan abadi.

Yang padahal hidupmu bisa memilih membesarkan seorang "putri" yang lebih jelita dari estetika "poetry" dalam puisi-pusi dan sajak yang telah lama kondor. Dan mungkin kedodoran. Dia adalah verses dan pemberian serta penerimaan dan dari ilahi (kecenderungamu kepada dirimu) sendiri. 


Baiklah, mas "Wily" baik-baik, aku akan menghadap dia. Dan, aku ucapkan seperti engkau dahulu mengucapkannya padaku, "Salam hadir dan mengalir".

Seperti ungkapanmu kepadaku terdahulu. Mengalirlah dan abadilah di dalam "yang tafsirkan untuk abadi" dan etern. Dan apakah balada bagi orang tersayang, bagi kita yang menyimpan kenangan dalam lusinan sepatu, kita tetap melangkah pada ilusi-dan ilusi yang lain dari puisi dan kwatrinik dari kwatrin sajakmu menyikap semua dimensi ruang dalam komposisi dan komponen 4 dan empat, lagi-lagi semua yang nampak bagi kita sebagai kecenderungan positifistik.

 

Terlebih, di dalam kategori kalsifikasi numeral empat sebagai kegenapan dalam positifisme yang selalu tidak merupakan prima dari mekanismenya. "Kita bagai lembu yang memang tidak pernah memiliki taring" tapi itu lebih baik, daripada seekor singa atau harimau yang berada di dalam sirkus. 



"Salam hadir dan mengalir," kepada WS. Rendra. (- Dalam frase imajiner dan Majazi).

Penulis, Bandar Lampung, 24 Juli 2025.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
Kontributor Pojok Desa

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

img-content

Parau

Senin, 1 September 2025 14:51 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
Lihat semua